belajar dari perjuangan seorang ibu

Kamis, 20 Mei 2010

sambungan...

Kini anak ke3 dan ke4 juga harus masuk bangku sekolah. Sang ibu banting tulang siang-malam guna mencukupi kebutuhan gizi dan perlengkapan sekolah keempat anaknya. Ia tak kenal lelah dan putus asa. Ia hanya berdoa supaya kelak kehidupan anak-anaknya jauh lebih baik dan lebih beruntung ketimbang dirinya.

Rutinitas sang ibu

Pukul dua pagi sang ibu mulai bangun dari tidurnya. Dalam keheningan ia bersujud memohon pada Sang Pencipta "kesolehan dan kesuksesan bagi keempat anaknya". Setelah selesai, ia mencuci semua pakaian keluarganya, tidak di rumahnya tidak pula menggunakan mesin cuci otomatis seperti banyak dimiliki para ibu saat ini, melainkan ia harus pergi melewati jalan sepi, kelam, dan jauh hingga sampai di sebuah mata air jernih di ujung kampung-maklum ia tidak memiliki sumur. Tak jarang ia dihantui rasa takut oleh sepi dan kelamnya pagi buta yang saat itu belum banyak penerangan jalan. Namun, mengingat harapan besar ia tautkan pada anak-anaknya, semua rasa takut dan lelah tidak ia hiraukan.

Suara adzan subuh terdengar dari kampung sebelah yang dibatasi oleh sungai besar di samping tempat ia mencuci. Ia bergegas kembali kerumah. Seusai sholat subuh, ia tidak lantas duduk-duduk beristirahat. Namun ia menyiapkan makanan dan lainnya, karena ia tidak ingin keempat anaknya menuntut ilmu dalam kondisi perut yang kosong. Menurut fikiran sederhana dalam dirinya, kalau perut lapar maka anak tidak akan mampu menyerap pelajaran di sekolahnya. Padahal ia menginginkan prestasi bagi anak-anaknya yang kelak dapat mengubah nasibnya.

Setelah semua pekerjaan rumah sekaligus membantu mertua selesai, ia berangkat ke pasar dengan ditemani sepeda onta kesayangannya. Pelan tapi pasti...ia mengayuh menuju keramaian pasar. Setelah keranjang yang menggantung di sisi kanan kiri sepeda terisi penuh, ia menuju rumah dan menjajakan dagangan yang baru saja ia beli. Betapa letihnya ia.....namun lagi-lagi ia tak mengeluh...
Siang hari setelah anak-anaknya pulang sekolah, iapun tidak memaksa mereka untuk membantu. Ia hanya mengingatkan mereka untuk sholat, makan serta belajar, lalu mengizinkan mereka bermain setelahnya.

Berbeda dengan siang hari, ketika malam tiba ia selalu bersikap lebih tegas untuk tidak mengizinkan anak-anaknya menonton televisi sebelum pukul 21.00 wib-padahal jam segitu acara televisi yang ada hanyalah dunia dalam berita pada masa itu. Selepas maghrib, semua harus tadarus/mengaji. boleh di masjid, musholla ataupun dirumah. Selesai isya' semua anaknya harus belajar. Walaupun ia tak pernah mampu menemani anak-anaknya belajar karena kesibukan di warung, keempat anaknya tidak pernah menuntut. Hanya saja, peraturan di malam hari tersebut tidak jarang membuat jengkel ke4 anaknya pada masa itu. Betapa tidak, anak-anak pada umumnya selepas isya' bebas menonton acara televisi yang ia sukai.

Pukul 22.00 atau 23.00 sang ibu mulai merebahkan badannya. capek ditubuhnya setelah beraktivitas seharian hanya bisa ia adukan pada sang khaliq.

Begitu setiap harinya rutinitas sang ibu dijalankan. betapa letihnya ia.....
Ia hanya berharap, semoga keringat dan rasa lelah yang ia rasakan setiap hari akan dibalas oleh-Nya dengan balasan terbaik...

bersambung....


Belajar dari perjuangan seorang ibu

Selasa, 18 Mei 2010

Kurang lebih 32 tahun yang lalu dimulailah kisah perjalanan panjang seorang ibu dengan empat orang anak yang bagiku ia sangat tangguh, sabar, dan penuh tawakal.
Aku yakin, ia tidak pernah menyangka kalau perjalanan hidupnya bakal seberat itu. Mulai dari cobaan ekonomi yang bisa dikatakan sangat pas-pasan-tapi menurutku sangatlah kekurangan- karena hanya untuk membeli sekaleng susu untuk anak keduanya saja tidak bisa. Jangankan membeli susu, membeli bubur saja kesulitan sehingga tak jarang mengutang pada penjualnya.

Tidak hanya itu ujian yang ia terima dari Sang Pencipta. Qadarullah, anaknya yang ke2 dan ke4 sakit-sakitan ketika usianya +-2tahun. Mulai dari muntaber-penyakit yang pada saat itu sangat mengerikan bagi orang yang tidak berpunya-, flek, sampai pilek yang terus menerus tak kenal waktu, juga kudis yang penuh dengan nanah.

Diperparah lagi dengan mertua yang tidak bersahabat. Bukannya membantu tetapi lebih sering menuntut ini itu dan selalu menyakitinya dengan sikap dan kata-kata. Lengkap sudah ujian yang ia terima. (tak bisa kubayangkan bagaimana pedih hatinya dan berapa banyak air mata yang telah ia teteskan dalam sujud dan ruku'nya kala itu).

Pendidikan formal bagi anak-anaknya

Setelah kurang lebih 7 tahun dari pernikahannya, tiba waktunya sang ibu untuk menunaikan kewajiban memberikan pendidikan formal bagi anak pertamanya. Mulai saat itu pula sang ibu harus memutar otak bagaimana cara memenuhi kebutuhan sekolah anak pertamanya itu. Ia terus berfikir dan berfikir, sampai akhirnya ia mendapat masukan dari suaminya supaya ia berjualan kelontong dirumahnya (yang sebenarnya masih menumpang mertua) guna memenuhi kebutuhan sekolah sekaligus menopang ekonomi keluarga.

Mulailah ia berjualan dengan arahan dan bantuan suaminya-maklum, suaminya adalah lulusan sarjana muda akademi perdagangan yang bisa dikatakan pandai dan cerdas. Namun karena masalah ekonomi ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Setelah beberapa lamanya warung kelontong dijalankan, bukannya keuntungan melimpah yang ia dapatkan melainkan pendapatan yang justru minus karena banyak tetangga yang belanja tanpa uang alias ngutang. Namun ia tidak pernah mengeluh atau bahkan mencaci nasibnya. Karena ia selalu ingat bahwa warung yang ia jalankan tidak lain hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya.

Setelah 2 tahun anak pertamanya sekolah, kini disusul anak ke2nya yang harus memasuki bangku SD. Semakin berat beban yang harus ia tanggung, mulai buku-buku, tas, dan perlengkapan sekolah lainnya (maklum anaknya yang kedua ini memang beda dengan kakaknya yang serba menerima kondisi keluarganya). Anak yang ke2 ini agak "manja" semua yang ia inginkan harus dituruti karena jika tidak, ia akan ngambek dan akhirnya jatuh sakit. Tidak ada pilihan lain bagi sang ibu kecuali harus menuruti keinginan anaknya daripada jatuh sakit yang justru akan lebih merepotkan.

Dalam setiap tahajudnya, sang ibu selalu memohon kesuksesan bagi anak-anaknya walau dengan segala keterbatasan ekonomi.

bersambung.....