Belajar dari perjuangan seorang ibu

Selasa, 18 Mei 2010

Kurang lebih 32 tahun yang lalu dimulailah kisah perjalanan panjang seorang ibu dengan empat orang anak yang bagiku ia sangat tangguh, sabar, dan penuh tawakal.
Aku yakin, ia tidak pernah menyangka kalau perjalanan hidupnya bakal seberat itu. Mulai dari cobaan ekonomi yang bisa dikatakan sangat pas-pasan-tapi menurutku sangatlah kekurangan- karena hanya untuk membeli sekaleng susu untuk anak keduanya saja tidak bisa. Jangankan membeli susu, membeli bubur saja kesulitan sehingga tak jarang mengutang pada penjualnya.

Tidak hanya itu ujian yang ia terima dari Sang Pencipta. Qadarullah, anaknya yang ke2 dan ke4 sakit-sakitan ketika usianya +-2tahun. Mulai dari muntaber-penyakit yang pada saat itu sangat mengerikan bagi orang yang tidak berpunya-, flek, sampai pilek yang terus menerus tak kenal waktu, juga kudis yang penuh dengan nanah.

Diperparah lagi dengan mertua yang tidak bersahabat. Bukannya membantu tetapi lebih sering menuntut ini itu dan selalu menyakitinya dengan sikap dan kata-kata. Lengkap sudah ujian yang ia terima. (tak bisa kubayangkan bagaimana pedih hatinya dan berapa banyak air mata yang telah ia teteskan dalam sujud dan ruku'nya kala itu).

Pendidikan formal bagi anak-anaknya

Setelah kurang lebih 7 tahun dari pernikahannya, tiba waktunya sang ibu untuk menunaikan kewajiban memberikan pendidikan formal bagi anak pertamanya. Mulai saat itu pula sang ibu harus memutar otak bagaimana cara memenuhi kebutuhan sekolah anak pertamanya itu. Ia terus berfikir dan berfikir, sampai akhirnya ia mendapat masukan dari suaminya supaya ia berjualan kelontong dirumahnya (yang sebenarnya masih menumpang mertua) guna memenuhi kebutuhan sekolah sekaligus menopang ekonomi keluarga.

Mulailah ia berjualan dengan arahan dan bantuan suaminya-maklum, suaminya adalah lulusan sarjana muda akademi perdagangan yang bisa dikatakan pandai dan cerdas. Namun karena masalah ekonomi ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Setelah beberapa lamanya warung kelontong dijalankan, bukannya keuntungan melimpah yang ia dapatkan melainkan pendapatan yang justru minus karena banyak tetangga yang belanja tanpa uang alias ngutang. Namun ia tidak pernah mengeluh atau bahkan mencaci nasibnya. Karena ia selalu ingat bahwa warung yang ia jalankan tidak lain hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya.

Setelah 2 tahun anak pertamanya sekolah, kini disusul anak ke2nya yang harus memasuki bangku SD. Semakin berat beban yang harus ia tanggung, mulai buku-buku, tas, dan perlengkapan sekolah lainnya (maklum anaknya yang kedua ini memang beda dengan kakaknya yang serba menerima kondisi keluarganya). Anak yang ke2 ini agak "manja" semua yang ia inginkan harus dituruti karena jika tidak, ia akan ngambek dan akhirnya jatuh sakit. Tidak ada pilihan lain bagi sang ibu kecuali harus menuruti keinginan anaknya daripada jatuh sakit yang justru akan lebih merepotkan.

Dalam setiap tahajudnya, sang ibu selalu memohon kesuksesan bagi anak-anaknya walau dengan segala keterbatasan ekonomi.

bersambung.....

0 komentar: