“BEGITULAH PROSEDURNYA”

Rabu, 14 Desember 2011

Bismillahirrahmaanirrahim

“BEGITULAH PROSEDURNYA”

Oleh: isnaning wahyuni, S.Th.I

Mataku berkaca-kaca melihat seorang gadis kecil menangis keras rindu pada ibunya yang sedang menjalankan tugas dari kantornya selama beberapa minggu.

Pemandangan itu telah membuka obrolan kecil antara aku dan kedua adikku. Aku dan adik perempuanku sepakat bahwa gadis kecil itu pasti sangat rindu belaian ibunya sehingga wajar kalau ia menangis keras guna mengekspresikan hatinya yang pilu. Muncul pertanyaan dalam benak kami berdua mengapa sang ibu tega meninggalkan bidadari kecilnya. Ternyata “begitulah peraturannya”-tidak boleh absen dan tidak boleh pulang selama beberapa minggu dan apabila melanggar maka seabreg hukuman telah menanti.

Aku kembali bertanya siapa sebenarnya yang membuat peraturan yang menurutku perlu bahkan harus ditinjau ulang. Spontan adik laki2ku memotong pembicaraan “begitulah prosedurnya” Prosedur yang harus dijalankan walau kita tidak sepakat dan tak jarang berlawanan dengan hati nurani kita.

Kalau begitu, siapa yang membuat prosedur???? Mengapa tidak mempertimbangkan keluarga karyawan??? Bukankah negeri ini maju berawal dari sebuah keluarga???? Bagaimana mungkin keluarga dapat berfungsi sebagai tempat penyemaian yang baik manakala kebijakan2 yang ada tidak mendukungnya bahkan dikatakan “begitulah prosedurnya”.

Entah siapa yang mesti disalahkan apakah sang bidadari kecil yang tidak memahami tugas2 ibunya???

Ah...kurasa bukan, ia hanyalah seorang gadis kecil yang belum tahu apa itu kerja.

Ataukah sang ibu yang mestinya ia menemani dan mendampingi bidadari kecilnya?? Aku juga tak mampu menjawabnya karena bukan aku yang mengalaminya dan aku tidak mampu untuk berspekulasi atas sebuah jawaban. Aku hanya mampu mengemukakan beberapa kemungkinan.

1. Kemungkinan pertama keluarga tersebut merupakan keluarga yang kurang tingkat ekonominya sehingga memaksa sang ibu untuk bekerja dan harus rela meninggalkan putrinya demi sesuap nasi.

2. Kemungkinan kedua, sang ayah menyuruh istrinya untuk bekerja sebagai bentuk toleransinya terhadap isu gender dan feminisme dimana seorang wanita diberikan kesempatan yang luas dalam mengejar karirnya.

3. Kemungkinan ketiga, sang ibu yang memutuskan diri untuk bekerja di luar rumah karena tidak betah di rumah dan karena prestise yang akan ia sandang dalam kehidupan sosial. Ia merasa akan lebih dihargai dan dibanggakan keluarga serta masyarakatnya manakala ia bekerja.

Apabila jawabannya adalah kemungkinan pertama, maka akan muncul pertanyaan “apa benar ia kurang tingkat ekonominya ataukah sang ibu yang kurang bersyukur atas nafkah suaminya sehingga ia merasa selalu dalam kekurangan?”

Hendaknya para ibu berfikir panjang dan menyelami segala konsekwensinya apabila memutuskan diri untuk bekerja di luar rumah. Berapa gaji yang ia terima, apakah sepadan dengan jeritan hati bidadari kecilnya. Lebih-lebih berapa waktu yang hilang dari anaknya untuk belajar bersama ibunya, masa-masa yang tak akan dapat kembali ia rasakan atas belaian kasih sayang ibu di usia kanak-kanak.

Jika jawabannya adalah kemungkinan ke dua, maka sangat saya sayangkan seorang suami yang menyuruh istrinya bekerja di luar rumah dan meninggalkan putrinya. Apa yang ada dipikirannya sehingga rela anaknya dididik oleh pengasuh dan bukan ibunya. Saya katakan, seorang pengasuh tidaklah sama dengan seorang ibu dalam mencurahkan kasih sayang pada anaknya. Allah telah menganugerahkan rasa kasih sayang yang besar dalam diri seorang ibu. Namun tak jarang kita dengar ucapan seorang ibu “saya bekerja di luar rumah sejak pagi hingga sore bahkan malam hari tak lain karena rasa kasih sayang saya kepada putri saya.” (Sungguh jawaban yang tidak masuk akal). Apabila ia benar-benar sayang, mengapa ia rela titipkan bahkan ia tinggalkan dalam jangka waktu yang cukup lama?

Apabila kita mau jujur ketika ditanya “barang apa yang menurutmu paling berharga dan paling kau cintai” pasti sebagian besar dari kita akan menjawab “emas” lalu apabila kita ditanya kembali “apakah emas yang kau miliki tersebut rela engkau pinjamkan atau engkau titipkan kepada orang lain setiap harinya” Pasti kita sepakat menjawab “tentu tidak” (khawatir akan rusak, hilang, atau bahkan akan di bawa kabur). Lalu apabila kita ditanya “siapakah yang paling berharga dalam hidupmu” Kita pasti akan menjawab “keluarga lebih-lebih anak” Dengan demikian apabila emas saja kita tidak rela untuk kita titipkan, bagaimana mungkin anak kita-yang merupakan permata hati-rela untuk ditinggalkan dan membiarkannya tumbuh bersama orang lain.

Dan apabila jawabannya adalah kemungkinan ketiga, maka sungguh bodoh para ibu yang mengejar karir dan menelantarkan putrinya demi prestise yang akan ia sandang dari masyarakatnya. Bukankah Allah telah memuliakan para wanita muslim dengan segala kodrat, kewajiban, dan hak-haknya. Untuk apa mendapat kemuliaan di mata manusia jika hina di mata Sang Pencipta. Bukankah hidup ini hanya sementara? Jangan mudah terbujuk rayuan syaitan yang memberikan iming-iming kenikmatan semu, karena syaitan memiliki seribu satu cara dalam mencari teman di dalam api neraka.

Tawaran solusi bagi ibu yang terpaksa bekerja di luar rumah

1. Carilah pekerjaan yang tidak menuntutnya untuk pergi meninggalkan rumah/anaknya seharian penuh.

Misal: bekerja sebagai muallim/guru. Profesi ini sangat baik karena akan membawa dampak yang positif bagi anaknya. Seorang guru pasti memiliki kehalusan pekerti yang dalam dan setidaknya tidak menuntut dirinya untuk bekerja hingga sore/malam hari. Dengan demikian, seorang anak masih dapat merasakan belaian kasih sayang ibu dan mendapatkan pengajaran tentang budi pekerti serta adab kesopanan dari orang terdekatnya.

Atau profesi dagang, dimana profesi ini seorang ibu dapat dengan leluasa mengatur jadwal kebersamaannya bersama sang anak. Setidaknya ia tidak dikekang oleh peraturan kolot yang dibuat oleh orang lain yang tidak/kurang memiliki kepedulian terhadap keluarga.

2. Carilah pengasuh yang baik agama dan budi pekertinya serta tinggi tingkat pendidikannya. Hal ini sangat penting karena di usia kanak-kanak apapun yang ia lihat di sekelilingnya ia rekam dan akan ia munculkan kembali di masa mendatang. Apabila yang ia lihat dan ia pelajari dari pengasuhnya adalah sesuatu yang baik tentunya hal itu akan lebih aman bagi anak kita.

3. Sering-seringlah berkomunikasi dengan anak maupun pengasuh selama meninggalkan sang anak. Saat ini telah berkembang pesat sistem komunikasi di negara kita, sehingga seorang ibu masih dapat dengan mudah mengontrol anak sekaligus pengasuhnya. Tanyakan kabarnya, aktifitas yang sedang, akan, dan telah mereka lakukan, dsb. Komunikasi ini juga akan memperkecil resiko kesalahan mendidik yang dilakukan sang pengasuh.

4. Pemerintah hendaknya membuat kebijakan-kebijakan yang tidak bertentangan dengan aturan Allah karena Allah jauh lebih mengetahui kebutuhan hambaNya baik kebutuhan pendidikan, pekerjaan, ibadah, dsb. Sehingga tidak akan ada lagi ketimpangan-ketimpangan yang berujung pada kata “begitulah prosedurnya” dimana prosedur tersebut justru menjadi bumerang bagi negara. Apabila kebijakan yang dibuat pemerintah sesuai petunjuk al-Qur’an dan sunnah, maka tentunya akan melahirkan generasi yang tangguh dan kuat serta akan menjadi negara yang mulia.

Wallahu a’lam

0 komentar: